Entri Populer

Selasa, 21 April 2015

Cara Menyikapi Anak Yang Suka Mengamuk Dan Memaki

Dalam pembahasan sebelumnya dikatakan bahwa faktor pencetus (tressor) mengapa anak mudah mengamuk dan memaki diakibatkan antara lain cara orang tua memperlakukan anak, hubungan antar saudara yang kurang harmonis dan faktor lingkungan pergaulan.  Disini kita akan membahasnya satu persatu faktor tersebut.

Cara Orang Tua Memperlakukan Anak


Tidak dapat dipungkiri bahwa cara orang tua memperlakukan anak sangat  mempengaruhi pola perilaku
anak dan menentukan kehidupan emosi anak, misalkan :
·         Anak Terlalu Dimanja

Kadang orang tua tidak menyadari telah memanjakan anak secara berlebihan.  Maksudnya ingin menyenangkan anak dengan memenuhi segala permintaan anak sebagai bentuk kedekatan dan kasih sayang sebagai orang tua.  Bahkan tuntutannya yang agak berlebihanpun selalu dikabulkan, karena orang tua tidak tega menghadapi rengekan anak, sehingga tergerak untuk memenuhi permintaannya.
Begitu pula setiap keluhan atau rasa tak puas anak terhadap apa yang diberikan orang tua, langsung ditanggapi dengan maksud mengenakkan anak.   Dengan kata lain orang tua tidak mau melihat anaknya kecewa atas perhatian orang tuanya.  Namun akhirnya tanpa sadar orang tua terbiasa didikte oleh anak dengan berbagai keinginannya.
Sikap orang tua dalam memperlakukan anak seperti ini dapat menimbulkan atau mendorong terbentuknya sifat-sifat buruk pada anak, antara lain :
  • -          Suka menuntut perhatian berlebih
  • -          Suka menunntut yang berlebihan
  • -          Setiap keinginannya harus selalu dituruti
  • -          Tidak lekas puas terhadap apa yang diperolehnya
  • -          Kaku, tidak mau kompromi
  • -          Egois dan selalu menuntut dilayani

Sifat-sifat ini mendorong sikap-sikap yang mudah menimbulkan persoalan pada anak dan orang tua.  Anak menjadi egois, mudah tersinggung dan mudah marah.  Jika keinginannya tidak terpenuhi emosinya akan cepat meluap-luap, menyebabkan anak mengamuk sebagai kompensasi dari ketidakpuasannya.
·         Perlakuan Kasar

Kadang orang tua tanpa sadar suka berlaku kasar pada anak dan selalu memaksakan keinginan dan kepatuhan pada anak. Terlebih lagi jika anak tidak segera melakukan sesuatu sesuai keinginan orang tua, atau apa yang dilakukan tidak sesuai dengan harapan orang tua, sehingga orang tua kerap menghardik, mengomel atau menghukum anak.    Orang tua begitu mudah menyudutkan anak dengan kata-kata maupun tindakan yang kasar.
Cara memperlakukan anak secara kasar tersebut dapat mempengaruhi sikap maupun perangai (sifat) anak.    Perlakuan kasar tersebut akan menimbulkan perasaan tidak enak dan tertekan dalam diri anak, hal ini membangkitkan reaksi emosionalnya, seperti mudah marah, tersinggung, kesal, dan lain sebagainya.  Reaksi emosional yang bertumpuk-tumpuk ini dapat mempengaruhi terbentuknya watak yang keras, jiwa pemberontak  dan pendemdam pada anak.  Tidak heran jika anak mudah mengamuk dan bertingkah laku kasar jika dirinya merasa tersinggung, kecewa, marah dan kesal jika keinginannya tidak terpenuhi.

Ucapan Yang Menyakitkan Hati Anak


Kebiasaan buruk sebagian orang tua disaat kesal atau marah adalah berkata kasar yang menyakitkan hati anak, seperti memaki atau menghamburkan kata-kata kasar yang mengandung konotasi merendahkan atau mendeskreditkan diri pribadi anak.  Misalnya mengatai anak dengan kata-kata : binatang, anak kurang ajar, anak tak tahu diri, anaka jahanam,dasar anak setan, dan lain sebagainya.
Parahnya, pengucapan kata-kata kasar atau makian tersebut selalu berulang pada waktu yang berbeda dan menjadi suatu kebiasaan.  Hal seperti ini biasanya dianggap sepele atau lumrah, padahal dampaknya sangat fatal pada anak.  Kata-kata kasar tersebut melukai hati anak dan menimbulkan pengalaman yang traumatis, dimana kata-kata tersebut begitu membekas di hati dan selalu terngiang di telinga anak.

Kejadian yang traumatis tersebut dapat mengubah perasaan, jalan pikiran, ingatan, juga reaksi fisik dan perilaku anak.  Anak menjadi sangat sensitif dan selalu curiga.  Ia merasa tercekam dan merasa dirinya anak yang tidak diinginkan, tidak disukai, dibenci, sehingga masalah kecil yang tidak berarti dapat membuat reaksi anak berlebihan dan membangkitkan kemarahannya.  Apalagi jika keinginannya ditolak, anak dapat mengamuk hebat dan melontarkan kata-kata kotor (makian).

Dampak Kekerasan terhadap Anak

Dampak Kekerasan terhadap Anak. Moore (dalam Nataliani, 2004) menyebutkan bahwa efek tindakan dari korban penganiayaan fisik dapat diklasifikasikan dalam beberapa kategori. Ada anak yang menjadi negatif dan agresif serta mudah frustasi; ada yang menjadi sangat pasif dan apatis; ada yang tidak mempunyai kepibadian sendiri; ada yang sulit menjalin relasi dengan individu lain dan ada pula yang timbul rasa benci yang luar biasa terhadap dirinya sendiri. Selain itu Moore juga menemukan adanya kerusakan fisik, seperti perkembangan tubuh kurang normal juga rusaknya sistem syaraf.

Anak-anak korban kekerasan umumnya menjadi sakit hati, dendam, dan menampilkan perilaku menyimpang di kemudian hari. Bahkan, Komnas PA (dalam Nataliani, 2004) mencatat, seorang anak yang berumur 9 tahun yang menjadi korban kekerasan, memiliki keinginan untuk membunuh ibunya.
Berikut ini adalah dampak-dampak yang ditimbulkan kekerasan terhadap anak (child abuse), antara lain:
1.  Dampak kekerasan fisik
Anak yang mendapat perlakuan kejam dari orang tuanya akan menjadi sangat agresif, dan setelah menjadi orang tua akan berlaku kejam kepada anak-anaknya. Orang tua agresif melahirkan anak-anak yang agresif, yang pada gilirannya akan menjadi orang dewasa yang menjadi agresif. Lawson (dalam Sitohang, 2004) menggambarkan bahwa semua jenis gangguan mental ada hubungannya dengan perlakuan buruk yang diterima manusia ketika dia masih kecil. Kekerasan fisik yang berlangsung berulang-ulang dalam jangka waktu lama akan menimbulkan cedera serius terhadap anak, meninggalkan bekas luka secara fisik hingga menyebabkan korban meninggal dunia.
2.   Dampak kekerasan psikis
Unicef (1986) mengemukakan, anak yang sering dimarahi orang tuanya, apalagi diikuti dengan penyiksaan, cenderung meniru perilaku buruk (coping mechanism) seperti bulimia nervosa (memuntahkan makanan kembali), penyimpangan pola makan, anorexia (takut gemuk), kecanduan alkohol dan obat-obatan, dan memiliki dorongan bunuh diri. Menurut Nadia (1991), kekerasan psikologis sukar diidentifikasi atau didiagnosa karena tidak meninggalkan bekas yang nyata seperti penyiksaan fisik. Jenis kekerasan ini meninggalkan bekas yang tersembunyi yang termanifestasikan dalam beberapa bentuk, seperti kurangnya rasa percaya diri, kesulitan membina persahabatan, perilaku merusak, menarik diri dari lingkungan, penyalahgunaan obat dan alkohol, ataupun kecenderungan bunuh diri.
3.  Dampak kekerasan seksual
Menurut Mulyadi (Sinar Harapan, 2003) diantara korban yang masih merasa dendam terhadap pelaku, takut menikah, merasa rendah diri, dan trauma akibat eksploitasi seksual, meski kini mereka sudah dewasa atau bahkan sudah menikah. Bahkan eksploitasi seksual yang dialami semasa masih anak-anak banyak ditengarai sebagai penyebab keterlibatan dalam prostitusi. Jika kekerasan seksual terjadi pada anak yang masih kecil pengaruh buruk yang ditimbulkan antara lain dari yang biasanya tidak mengompol jadi mengompol, mudah merasa takut, perubahan pola tidur, kecemasan tidak beralasan, atau bahkan simtom fisik seperti sakit perut atau adanya masalah kulit, dll (dalam Nadia, 1991);
4. Dampak penelantaran anak
Pengaruh yang paling terlihat jika anak mengalami hal ini adalah kurangnya perhatian dan kasih sayang orang tua terhadap anak,  Hurlock (1990) mengatakan jika anak kurang kasih sayang dari orang tua menyebabkan berkembangnya perasaan tidak aman, gagal mengembangkan perilaku akrab, dan selanjutnya akan mengalami masalah penyesuaian diri pada masa yang akan datang.
5.  Dampak kekerasan lainnya
Dampak kekerasan terhadap anak lainnya (dalam Sitohang, 2004) adalah kelalaian dalam mendapatkan pengobatan menyebabkan kegagalan dalam merawat anak dengan baik. Kelalaian dalam pendidikan, meliputi kegagalan dalam mendidik anak mampu berinteraksi dengan lingkungannya gagal menyekolahkan atau menyuruh anak mencari nafkah untuk keluarga sehingga anak terpaksa putus sekolah.
Berdasarkan uraian diatas dampak kekerasan terhadap anak antara lain:
1. Kerusakan fisik atau luka fisik
2. Anak akan menjadi individu yang kukrang percaya diri, pendendam dan agresif
3. Memiliki perilaku menyimpang, seperti: menarik diri dari lingkungan,  penyalahgunaan obat dan alkohol sampai dengan kecenderungan bunuh diri.
4. Jika anak mengalami kekerasan seksual maka akan menimbulkan trauma mendalam pada anak, takut menikah, merasa rendah diri, dan lain-lain.
5. Pendidikan anak yang terabaikan.
Sumber:
http://www.duniapsikologi.com
Artikel Dampak Kekerasan terhadap Anak pertama kali diterbitkan dunia psikologi pada 27 November 2008.

Golongan Narkotika Menurut UU 35 Tahun 2009

Images: bookkooppedia.com
Menurut UU Narkotika No 35 Tahun 2009, narkotika di definisikan sebagai zat atau obat yang berasal dari  tanaman atau bukan tanaman, baik sintetis maupun semisintetis, yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan.
Dalam UU No 35 Tahun 2009, narkotika digolongkan kedalam tiga golongan:
Narkotika Golongan I
Narkotika golongan satu hanya dapat digunakan untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan dan tidak digunakan dalam terapi, serta mempunyai potensi sangat tinggimengakibatkan ketergantungan
Contoh: Heroin, Kokain, Opium, Ganja, Katinon, MDMDA/Ecstasy
Narkotika Golongan II
Narkotika golongan dua, berkhasiat untuk pengobatan digunakan sebagai pilihan terakhir dan dapat digunakan dalam terapi dan/atau untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi tinggi mengakibatkan ketergantungan.
Contoh: Morfin, Petidin, Fentanil, Metadon
Narkotika golongan III
Narkotika golongan tiga, berkhasiat untuk pengobatan dan banyak digunakan dalam terapi dan/atau untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi ringan mengakibatkan ketergantungan
Contoh: Codein, Buprenorfin, Etilmorfin

Sumber: UU Narkotika